Wednesday 27 January 2010

Indonesia dan Malaysia saling Klaim

Saling klaim antara Indonesia dengan Malaysia tak hanya terjadi di bidang budaya. Dua negara bertetangga itu kini juga terlibat negosiasi ketat soal perbatasan darat. Sedikitnya, ada sepuluh permasalahan perbatasan yang masih belum bisa diselesaikan.
Direktur Wilayah Administrasi Perbatasan Depdagri Kartiko Purnomo mengatakan bahwa, pemerintah Indonesia akan menyelesaikan masalah itu satu per satu, dimulai titik paling timur ke arah barat. Sepuluh titik yang bermasalah tersebut, antara lain, Tanjung Datu di perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak. Hasil pengukuran bersama tersebut tidak sesuai. oleh karena itu perlu pengukuran ulang.

Selain itu, ada titik Gunung Raya, Gunung Jagoi, Batu Aum, dan Titik D-400. Demikian pula di Pulau Sebatik, kedua tim survei menemukan, tugu di sebelah barat Pulau Sebatik berada di sebelah selatan posisi yang seharusnya. Indonesia dirugikan. Titik yang bergeser itu berada dalam koordinat 4รข€™ 20" Lintang Utara.

Pergeseran titik batas juga terjadi di Sungai Sinapad, titik C-500, titik B-2700, serta sungai Semantipal. "Di sungai itu, Malaysia komplain letak muara Sungai Semantipal, sungai tersebut berada di Kalimantan Timur berbatasan dengan Sabah.

Berdasarkan data Depdagri, panjang garis batas Indonesia-Malaysia 2.004 kilometer. Ada 19.328 buah pilar batas yang dibagi dalam empat tipe. Untuk jenis pilar A, jarak antarpilar 300 km, pilar tipe B (50 km), pilar tipe C (3 km). "Yang berjarak paling dekat adalah pilar model D. Jumlahnya 18.710 pilar. Masing-masing berjarak 100-200 meter.

Masih Ada Tiga Titik Sengketa di Perbatasan Indonesia-Timor Leste

Komandan Komando Resor Militer (Danrem) 161 Wirasakti Kupang, Kolonel Infantri Dody Usodo Hargo mengatakan ada tiga titik yang masih disengketakan di batas wilayah antara Indonesia dan Timor Leste.

Tiga titik yang menyangkut penyelesaian batas wilayah antara Indonesia dan Timor Leste tersebut yakni Desa Manusasi dan Desa Memo, Kecamatan Miomafo Timur Kabupaten Timor Tengah Utara, serta Desa Noelbesi, Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang seluas 1.036 ha.v Desa Manusasi memiliki luas 100 hektare dengan Distrik Oeccuse-Timor Leste.

Kementrian Luar Negeri, bahkan telah mengajukan surat protes ke pemerintah Timor Leste, terkait penyerobotan yang dilakukan di lokasi yang masih disengketakan tersebut.

Di mana di wilayah yang disengketakan tersebut, sesuai perjanjian antara Timor Leste dan Indonesia, tidak boleh ada aktifitas apapun sebelum proses penyelesaian berakhir.

Tapi kenyataanya di Desa Noelbesi, pada 2008 lalu pemerintah Timor Leste sempat membangun pos imigrasi, meski sudah dihentikan prajurit TNI. Di desa itu juga terdapat sekitar 40-an warga Timor Leste yang bermukim di wilayah Indonesia.

Hal yang sama juga terjadi di Desa Manusasi, pemerintah Timor Leste sempat membangun pos polisi di wilayah yang masih disengketakan sehingga diperintahkan untuk dihentikan.

Masalah sengketa perbatasan ini sudah menjadi urusan diplomasi antara dua negara sehingga bukan merupakan tugas TNI, namun TNI tetap menjaga daerah perbatasan agar tidak diserobot oleh pihak lain.


Sunday 10 January 2010

PERBATASAN INDONESIA DI TAHUN 2010

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang berbatasan dengan 10 negara tetangga di darat dan di laut. Di laut, Indonesia berbatasan dengan India, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua New Guinea. Sedangkan di darat Indonesia berbatasan dengan Malaysia, Timor Leste, dan Papua New Guinea. Kawasan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga tersebar di 12 provinsi yaitu : (i) NAD, (ii) Sumatera Utara, (iii) Riau, (iv) Kepulauan Riau, (v) Kalimantan Barat, (vi) Kalimantan Timur, (vii) Sulawesi Utara, (viii) Maluku; (ix) Maluku Utara; (x) Nusa Tenggara Timur; (xi) Papua, dan (xii) Papua Barat. Setidaknya, terdapat 38 wilayah kabupaten/kota di kawasan perbatasan yang secara geografis dan demografis berbatasan langsung dengan negara tetangga, serta perlu memperoleh perhatian khusus.

Menteri Pertahanan (Menhan) RI Purnomo Yusgiantoro menyatakan pihaknya akan segera membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan untuk meningkatkan keamanan di kawasan dan garis perbatasan pada 200 pulau terluar Indonesia. Badan tersebut akan melakukan pendekatan militer dan nonmiliter. Pembentukan badan nasional tersebut  akan dikelola oleh Dephan dari sisi pertahanan, sedangkan sisi sosial ekonominya akan diketuai Menteri Dalam Negeri, namun pelaksanaannya akan tetap dikawal Dephan.

Pembentukan badan tersebut merupakan langkah strategis bagi negara ini untuk mengamankan sekitar 200 pulau terluar. Dengan kehadiran kegiatan ekonomi di sejumlah pulau terluar merupakan salah satu bentuk pertahanan yang efektif untuk mencegah negara lain mengklaim wilayah RI sebagai bagian dari wilayah mereka. Kehadiran kegiatan ekonomi adalah bentuk pematokan perbatasan yang paling bagus dan paling efektif untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.

Oleh karena itu, seluruh departemen terkait seperti Departemen Pertahanan (Dephan), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Kehutanan (Dephut), dan departemen lain, harus bersatu padu menghadirkan kedaulatan RI melalui kekuatan nonmiliter. Beberapa masalah perbatasan Indonesia sebagian ada di perbatasan antara Papua dengan Papua Nugini dan Kalimantan Barat dengan Timor Leste. Saat ini permasalahan di pulau terluar tersebut ada yang sudah selesai tarik-menariknya seperti Papua Nugini. Selain itu, ada yang dalam proses negosiasi. Ada yang hingga kini belum terselesaikan seperti di Timor Leste. Ada yang belum ditetapkan dan ada yang tumpang tindih, seperti kasus Ambalat.

Sementara itu, pengamat militer yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr. Drs. Muhadjir Effendy MAP., menilai perlu adanya perubahan radikal terkait pengamanan di pulau terluar RI dan garis perbatasan dengan negara lain. Menurut beliau pengamanan itu perlu dilakukan secepatnya, apalagi negara tetangga selama ini sudah berancang-ancang mendaku (klaim) sejumlah pulau terluar sebagai miliknya. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kita bisa kecolongan pulau tersebut, padahal beberapa pulau itu memiliki sejumlah potensi yang bisa meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi. Potensi yang terkandung di pulau itu seperti sumber daya alam tambang dan minyak. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengerahkan dana dan upaya terpadu dalam mengamankan seluruh wilayah RI. Kalau perlu jumlah pasukan pengaman di beberapa kawasan itu ditingkatkan.


Keputusan Presiden tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) untuk memaksimalkan pengelolaan wilayah perbatasan RI dan sejumlah negara lain, baik perbatasan darat maupun laut, akan diterbitkan pada 2010. Juru Bicara Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang mengemukakan, kemungkinan Keppres akan terbit pada awal Januari 2010. Dengan Keppres itu, maka seluruh departemen, dan instansi terkait pengelolaan perbatasan seperti Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, dan lainnya akan terkoordinasi dengan baik dalam mengelola wilayah perbatasan.
 
Pemerintah mengakui jika pengelolaan wilayah perbatasan, baik di darat maupun laut, masih belum maksimal. Karenanya pemerintah pada 2008 menerbitkan UU No.43/2008 tentang Wilayah Negara.  Undang-undang itu mengamanatkan antara lain untuk mengelola perbatasan perlu ditindaklanjuti melalui pembentukan BNPP, agar lebih terkoordinasi dengan baik. Dengan Keppres itu maka BNPP akan dibentuk pula di daerah-daerah yang berbatasan dengan negara lain. Antara BNPP pusat dan daerah, sifatnya koordinatif sehingga benar-benar terpadu dan terintegrasi. Untuk perbatasan darat, RI memiliki batas dengan dengan Malaysia, Timor Leste dan Papua Nugini. Total panjang mencapai 3.137 kilometer (km) hanya memiliki 207 pos perbatasan.

Garis batas RI dengan Malaysia di Kalimantan sepanjang 2.004 km baru didukung 54 pos penjagaan. Di Timor Leste, perbatasan sepanjang 316 km dijaga 39 pos. Sedangkan di Papua, perbatasan 817 km memiliki 114 pos penjaga. Sementara untuk perbatasan laut, RI berbatasan dengan sebagian Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, India, Republik Palau, Australia, Papua Nugini dan Timor Leste.

Pengertian perbatasan selama ini lebih banyak dipahami dalam konteks fisik. Sejak kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, yang oleh Mahkamah Internasional dimenangkan Malaysia pada tahun 2002, masalah perbatasan fisik terus meningkat. Kini Malaysia malah berusaha merampas Ambalat.

Ketika Indonesia terus berusaha memperkuat pengamanan perbatasan fisik, batas kultural yang tidak pernah terpikir untuk dibentengi pun diusik. Terakhir kita tersentak oleh isu ”klaim” Malaysia soal tarian pendet, dalam sebuah iklan pariwisatanya. Menlu Malaysia Anifah Aman membantah pernah ada klaim itu.
Ketika tiba di Pulau Sebatik, pulau yang secara administratif terbagi atas wilayah Malaysia dan Indonesia, tim juga menemukan fakta lain. Khusus di Sebatik Barat, bagian dari wilayah Indonesia, warganya kecewa karena listrik yang dibangun negara sejak tahun 1991 belum juga beroperasi.

Pada kunjungan Komisi I DPR-RI pada bulan desember 2009 terungkap, warga di wilayah Nunukan lebih banyak berorientasi ke Malaysia. Seluruh hasil pertanian mereka, baik itu hasil bumi maupun hasil laut, dan produk industri rumah tangga dijual ke Tawau. Barang-barang mereka ditawar dengan harga murah. Koperasi unit desa yang diharapkan menjadi soko guru ekonomi rakyat, untuk menampung hasil pertanian dan ekonomi produktif rakyat di perbatasan, tidak berperan. Warga Nunukan dan Sebatik lebih sering menjual ke Tawau daripada menjual di Nunukan dan Tarakan karena berbagai alasan.

Persoalan pengamanan wilayah fisik pun sangat sensitif. Sejak Pulau Sipadan dan Ligitan lepas dari Indonesia ke tangan Malaysia, kini Pulau Ambalat pun terancam. Bahkan, mungkin, ancaman itu bisa semakin kuat karena fasilitas keamanan untuk kegiatan operasional di perbatasan sangat minim. Misalnya, fasilitas pangkalan udara TNI di Tarakan, sebagai pangkalan terdepan di perbatasan, tertinggal jauh dari pangkalan angkatan udara Malaysia di Tawau, Sabah. Landasan pacu Tarakan berukuran 2.250 x 45 m, Nunukan 900 x 23 m. Panjang landasan Tawau 2.670 x 47 dan Kinabalu 3.050 x 45 m.

Jajaran Pangkalan Laut dan Angkatan Udara di Tarakan kepada Komisi I di Tarakan mengatakan, panjang landasan berkaitan erat dengan kemampuan operasional alutsista, khususnya pesawat patroli atau tempur. Artinya, jika landasannya kecil, pesawat canggih yang lebih besar pun sulit mendarat. Kapal-kapal patroli TNI AL, selain kapal perang KRI, juga terbatas. Ada satu kapal patroli mewah di Nunukan yang ditempatkan sejak dua tahun silam tidak bisa beroperasi karena kesulitan bahan bakar. Kapal berkecepatan 40 knot per jam itu pakai bensin, sedangkan stok bahan bakar yang ada lebih banyak berupa solar.

Alat komunikasi di perbatasan pun terbatas. Dari tiga pos keamanan di Sebatik, misalnya, hanya pos paling depan yang memiliki radio komunikasi. Dua pos lain di belakangnya tanpa sarana komunikasi. Masalah ini juga disoroti tim Komisi I dalam pertemuan dengan pihak terkait di Tarakan dan Nunukan. Jaringan telekomunikasi dan penyiaran publik milik pemerintah minim. Infrastruktur lembaga penyiaran publik, misalnya, yang diharapkan sebagai corong pemerintah, seperti RRI dan TVRI, baru menyentuh kota kabupaten. Warga perbatasan lebih banyak menerima siaran radio dan televisi Malaysia.

Sebenarnya masih banyak lagi masalah yang belum diungkap, seperti illegal fishing, perompakan, terorisme, dan pencurian hasil hutan. Tim Komisi I menilai pemerintah belum serius membangun perbatasan. Beranda terdepan bangsa dan negara RI lebih sering diabaikan. Misalnya, sudah 31 menteri, satu wapres, dan satu presiden mengunjungi Sebatik, tetapi hingga kini warganya belum terlayani listrik meski tiang-tiang sudah dibangun sejak 1991.

Bentuk-bentuk kehadiran negara, seperti penyediaan sarana dan prasana listrik, telekomunikasi, air bersih, koperasi unit desa, jaringan transportasi, jaringan informasi, terutama penyiaran, jauh dari memadai. Tidak heran jika orientasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya warga lebih banyak ke Malaysia. Menurut Hayono Isman, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah pernah mengunjungi garis batas RI-Malaysia di Ambalat pada 2005. Saat itu, Presiden berdiri menghadap wilayah Malaysia untuk mengisyaratkan bahwa rakyat Indonesia siap menghadapi setiap agitasi Malaysia terhadap Ambalat.

Anggota Komisi I, seperti Fayakhun Andriadi, Tantowi Yahya, dan Achmad Basarah, mengatakan, pemerintah harus mengubah orientasi pembangunan perbatasan dari pendekatan ekonomi ke pendekatan national interest. Utamakan kepentingan nasional mempertahankan kedaulatan dan martabat bangsa, ketimbang kepentingan kapitalistik.

Dijajaran Polri, Kepolisian Daerah Kalimantan Barat dan Polis Diraja Malaysia (PDRM) pada tahun 2010 akan meningkatkan patroli bersama perbatasan dari dua kali setahun menjadi empat kali setahun. Menurut Kabid Humas Polda Kalbar, AKBP Suhadi SW, peningkatan patroli bersama perbatasan ini dilakukan sebagai upaya mengamankan wilayah perbatasan dari tindak kejahatan antarnegara.


Kendala yang dihadapi polisi di wilayah perbatasan dalam melakukan patroli adalah kondisi geografi yang sulit dijangkau karena infrastruktur jalan dan sarana komunikasi yang masih minim. Oleh karenanya, beliau berharap pemerintah pusat memberikan perhatian lebih pada pembangunan infrastruktur di perbatasan.

Di samping meningkatkan patroli bersama, Kepala Polda Kalbar Brigadir Jenderal (Pol) Erwin TPL Tobing berupaya memberdayakan masyarakat di perbatasan dengan membentuk Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) di tingkat kecamatan dan desa. Forum ini dibentuk untuk membantu polisi menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat di perbatasan.

Direktur Utama LPP RRI Parni Hadi mengatakan bahwa Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia akan membuka 10 stasiun produksi di daerah perbatasan pada 2010 di 10 daerah, di antaranya di Kalimantan Timur, Sei Batik, Malinau dan Loh Bagun, daerah perbatasan merupakan wilayah strategis dalam pertahanan NKRI. Sudah selayaknya warga daerah perbatasan didengar dengan produksi siaran radio.

Dengan stasiun produksi dalam negeri (Indonesia), maka warga daerah perbatasan dapat menyiarkan berita sendiri, baik yang berbau lokal, nasional mapupun regional, karena berbatasan dengan negara tetangga.
Selain produksi berita, stasiun produksi RRI itu juga akan membuat "feature" dan siaran kesenian serta kebudayaan. Stasiun produksi daerah perbatasan tersebut juga akan menempatkan kontributor di negara tetangga.

Jika tidak menjadi kontributor, sesekali, reporter kita ke negara tetangga untuk meliput karena produksi di negara tetangga diperlukan mengingat banyak WNI yang hidup di Malaysia dan Singapura. RRI, juga bekerja sama dengan Radio Arab Saudi untuk merangkul tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berada di Timur Tengah.
Mengenai biaya pembangunan stasiun produksi berasal dari alokasi BUMN.

Sementara itu, Ketua Badan Anggaran DPR RI Harry Azhar Aziz mengatakan, alokasi dana untuk LPP RRI perlu ditambah mengingat pentingnya peranan informasi dalam pembangunan masyarakat. Sekarang ini hanya 0,0 sekian persen anggaran APBN untuk RRI, kalau bisa dua persen, itu bagus sekali, seperti yang dilakukan negara yang memiliki informasi berkualitas.